Selasa, 29 April 2014

Penanganan pasca panen tanaman cabai merah. sakti



TUGAS INDIVIDU
MAKALAH AGRIBISNIS TANAMAN HORTIKULTURA

PENANGANAN PASCA PANEN TANAMAN CABAI MERAH


OLEH
NAMA            :           SAKTI
NIM                :           G111 12 340

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013


KATA PENGANTAR
            Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul : Penanganan Pasca Panen Tanaman Cabai Merah ”.
            Maksud utama peyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas terstruktur yang telah diberikan oleh pihak dosen mata kuliah Agribisnis Tanaman Perkebunan Fakultas PERTANIAN Universitas Hasanuddin.
 Dalam penyelesaian tugas ini penulis banyak mendapatkan berbagai masukan berupa bimbingan dan saran-saran yang sangat berguna. Penulis berupaya semaksimal mungkin untuk berkarya dengan harapan makalah ini dapat bermanfaat dalam rangka meningkatkan kualitas bangsa Indonesia.
 Kritik dan saran akan sangat membantu penulis dalam melaksanakan tugas selanjutnya.




Makassar, 12 Desember 2013

                                                                                                                                                 Penulis




DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................................
Daftar Isi .................................................................................................................................
Bab I. Pendahuluan ................................................................................................................
1.1.   Latar Belakang ...........................................................................................................
1.2.   Tujuan Penulisan .......................................................................................................
Bab II. Tinjauan Pustaka .......................................................................................................
2.1. Pasca Panen Pengolahan Primer ................................................................................
2.1.1. Panen ...............................................................................................................
2.1.2. Sortasi ..............................................................................................................
2.1.3. Penyimpanan ...................................................................................................
2.1.4. Pengemasan .....................................................................................................
2.1.5. Pengangkutan ..................................................................................................
2.1.6. Pemasaran .......................................................................................................
2.2. Pasca Panen Pengolahan Sekunder ...........................................................................
2.2.1. Pengolahan Cabai Kering ...............................................................................
2.2.2. Pengolahn Cabai Merah menjadi Saus ...........................................................
2.2.3. Pengolahn Cabai Merah menjadi Bumbu Nasi Goreng .................................
2.2.4. Oleoresin Cabai Merah ..................................................................................
Bab III. Pembahasan ............................................................................................................
3.1. Solusi Pasca Panen ...................................................................................................
3.1.1. Panen ..............................................................................................................
3.1.2. Sortasi ............................................................................................................
3.1.3. Penyimpanan .................................................................................................
3.1.4. Pengemasan ...................................................................................................
3.1.5. Pengangkutan .................................................................................................
3.1.6. Pemasaran ......................................................................................................
Bab IV. Kesimpulan ............................................................................................................
4.1. Kesimpulan .............................................................................................................
Daftar Pustaka .....................................................................................................................



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Dalam bidang pertanian istilah pasca panen diartikan sebagai berbagai tindakan atau perlakuan yang diberikan pada hasil pertanian setelah panen sampai komoditas berada di tangan konsumen. Istilah tersebut secara keilmuan lebih tepat disebut Pasca produksi (Postproduction) yang dapat dibagi dalam dua bagian atau tahapan, yaitu pasca panen (postharvest) dan pengolahan (processing). Penanganan pasca panen (postharvest) sering disebut juga sebagai pengolahan primer (primary processing) merupakan istilah yang digunakan untuk semua perlakuan dari mulai panen sampai komoditas dapat dikonsumsi “segar” atau untuk persiapan pengolahan berikutnya.
            Umumnya perlakuan tersebut tidak mengubah bentuk penampilan atau penampakan, kedalamnya termasuk berbagai aspek dari pemasaran dan distribusi. Pengolahan (secondary processing) merupakan tindakan yang mengubah hasil tanaman ke kondisi lain atau bentuk lain dengan tujuan dapat tahan lebih lama (pengawetan), mencegah perubahan yang tidak dikehendaki atau untuk penggunaan lain. Ke dalamnya termasuk pengolahan pangan dan pengolahan industri. Gambaran umum karakteristik komoditas hortikultura bersifat volumunios (membutuhkan tempat yang besar) dan perishable (mudah rusak) seperti halnya pada tanaman cabai sehingga dibutuhkan penanganan pasca panen yang cepat dan tepat. Hal utama yang timbul akibat penanganan yang kurang tepat dan cepat tersebut adalah tingginya kehilangan atau kerusakan hasil.
Hal ini disebabkan antara lain penanganan pasca panen pada tanaman cabai yang masih dilakukan secara tradisional atau konvensional dibandingkan kegiatan pra panen. Terlihat bahwa masih rendahnya penerapan teknologi, sarana panen/pasca panen yang terbatas, akses informasi dalam penerapan teknologi dan sarana pasca panen juga terbatas sehingga menjadi kendala dalam peningkatan kemampuan dan pengetahuan petani/pelaku usaha
Penanganan pasca panen pada tanaman cabai bertujuan untuk memperpanjang kesegaran dan menekan tingkat kehilangan hasil yang dilaksanakan melalui pemanfaatan sarana dan teknologi yang baik. Oleh karena itu, untuk mengurangi dampak teknologis, ekologis dan ekonomis diperlukan road map (peta perjalanan) penanganan pasca panen tanaman cabai sebagai landasan dalam penyusunan program kegiatan, rencana aksi serta kebijakan.
Proses produksi sayuran meliputi beberapa tahap yang berkesinambungan, mulai dari tahap prapanen, pascapanen, dan pengolahan. Pada tahap prapanen, petani dituntut untuk mengefisienkan penggunaan masukan untuk memperoleh pendapatan yang layak. Tahap penanganan pascapanen meliputi pemanenan, sortasi, pencucian, pengemasan, pengangkutan, penyimpanan, pengolahan, dan pemasaran sampai komoditas tersebut dimanfaatkan atau dikonsumsi oleh pengguna akhir (konsumen). Sayuran, termasuk cabai merah, mudah rusak setelah dipanen, baik kerusakan fisik, mekanis maupun mikrobiologis, padahal konsumen menyukai sayuran dalam keadaan segar.
Oleh karena itu, perlu penanganan pascapanen yang memadai untuk mempertahankan kesegaran serta mencegah susut dan kerusakan. Kehilangan pascapanen sayuran mencapai 40%, yang umumnya berupa penurunan kualitas. Kehilangan pascapanen terjadi dalam waktu beberapa hari pada penanganan secara tradisional. Maka dari itu hasil produksi cabai  sebaiknya di tempatkan pada ruang yang sejuk, terhindar dari sinar matahari, cukup oksigen dan tidak lembab serta dalam penggunaan pestisida tidak digunakan pada saat pasca panen.
1.2. Tujuan Penulisan
            Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu sebagai berikut :
1.    Untuk mengetahui bagaimana penanganan pasca panen pada tanaman cabai
2.    Untuk mengetahui pengolahan primer pada pasca panen tanaman cabai (seperti perlakuan mulai panen sampai komoditas dapat dikomsumsi segar atau siap diolah.
3.    Untuk mengetahui pengolahan sekunder pada pasca panen tanaman cabai (yaitu tindakan yang mengubah hasil tanaman menjadi bentuk lain agar lebih awet).
4.    Untuk membahas mengenai solusi pasca panen pada tanaman cabai.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
            Pasca panen pada tanaman cabai merupakan kelanjutan dari proses panen terhadap tanaman budidaya atau hasil dari penambangan alam yang fungsinya antara lain untuk membuat bahan hasil panen tanaman cabai tidak mudah rusak dan memiliki kualitas yang baik serta mudah disimpan untuk diproses selanjutnya. Penanganan pascapanen yang dibahas dalam tulisan ini meliputi pengolahan primer, yaitu perlakuan mulai panen sampai komoditas dapat dikonsumsi segar atau siap diolah, serta pengolahan sekunder, yaitu tindakan yang mengubah hasil tanaman (dalam hal ini cabai) menjadi bentuk lain agar lebih awet (Mutiarawati 2009).
2.1. Pasca Panen Pengolahan Primer
2.1.1. Panen
   Panen merupakan kegiatan akhir dari proses produksi di lapangan dan faktor penentu proses selanjutnya. Pemanenan dan penanganan pasca panen pada tanaman cabai perlu dicermati untuk dapat mempertahankan mutu sehingga dapat memenuhi spesifikasi yang diminta konsumen. Penanganan yang kurang hati-hati akan berpengaruh terhadap mutu dan penampilan produk yang berdampak kepada pemasaran (Rajab dan Taufik 2008).
            Panen merupakan kegiatan awal dalam penanganan pascapanen. Pada tahap ini panen tanaman cabai dilakukan pada tingkat kematangan yang tepat dan dengan hati-hati untuk menjaga mutu produk (Gambar 1). Cabai dapat dipanen pada umur 60−75 hari setelah tanam untuk yang ditanam di dataran rendah dan pada umur 3−4 bulan untuk yang di dataran tinggi. Cabai dipanen setelah buahnya 75% berwarna merah (Moekasan et al. 2005; Sumarni 2009). Panen dilakukan 3−4 hari sekali atau paling lambat satu minggu sekali, sampai tanaman berumur 4−7 bulan (15 kali panen) atau sesuai kondisi tanaman (Asgar et al. 2000; Sutarya et al. 1995). Buah yang dipanen terlalu muda akan cepat layu, bobot cepat berkurang, cepat rusak,dan kurang tahan guncangan waktu pengangkutan.

2.1.2. Sortasi
   Konsumen terutama pasar swalayan, restoran dan hotel lebih mengutamakan spesifikasi produk yang mereka inginkan dan untuk ini mereka berani membayar lebih besar jika dibandingkan dengan pasar tradisional (wet market). Penampilan produk yang seragam, baik ukuran panjang, diameter, bentuk, permukaan, warna, maupun kekerasan buah, akan memberikan penilaian yang lebih baik. Untuk itu diperlukan sortasi dan grading terhadap buah cabai yang diinginkan konsumen, baik rumah tangga, kelompok konsumen swalayan, restoran, hotel, industri pangan olahan tradisional maupun skala industri. Umumnya, sortasi dan grading dilakukan oleh pedagang pengumpul.
Sortasi terhadap warna menjadi hal yang sangat penting bagi konsumen. Karenanya harus ada upaya untuk menstabilkan warna cabe sebelum dikeringkan. Petani di Indonesia akan menghamparkan buah cabai yang sudah dipetik di tempat teduh, dengan tujuan untuk mencegah pembusukan sebelum dijual ke pasar. Tindakan seperti ini disebut curing yaitu mengondisikan buah cabe untuk dapat menyesuaikan dengan keinginan dari pasar.
            Dalam penelitian “Analisis Pendapatan Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen Cabai Merah memaparkan bahwa beberapa kelompok konsumen seperti hotel, restoran, dan pasar swalayan memberi harga yang berbeda pada cabai berdasarkan kelas mutu. Soetiarso dan Majawisastra (1992) melaporkan, konsumen mempunyai preferensi yang berbeda dalam menempatkan urutan faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan harga pembelian cabai merah. Buah cabai yang telah dipanen segera disortasi untuk mencegah kerusakan. Penundaan sortasi akan mempercepat pembusukan. Cabai hasil sortasi yang berkualitas kurang baik masih dapat dipasarkan, meskipun harganya rendah. Sortasi yang dilakukan di petani berbeda yang dilakukan oleh industri (Asgar 2000). Petani umumnya mengharapkan semua hasil panen dapat dijual. Cabai yang berkualitas baik dijual ke pedagang atau pasar swalayan, sedangkan yang kualitasnya kurang baik dipasarkan ke pedagang pengecer atau pasar tradisional. Demikian pula di tingkat pedagang, cabai yang berkualitas baik dijual ke industry pengolah dan yang kurang bagus dijual ke pedagang pengecer. Industri pengolahan menghendaki cabai yang berkualitas baik agar hasil olahannya berkualitas prima.

2.1.3. Penyimpanan
Di Indonesia, cabai umumnya lebih banyak diperdagangkan dalam bentuk segar. Karena itu, para produsen dan pengelola komoditas cabai berupaya supaya cabai tetap kelihatan segar. Untuk itu diperlukan tindakan yang benar pada saat handling, pengemasan dan penyimpanan agar mutu tetap stabil dan bisa diterima konsumen dengan harga yang tinggi.
Setelah pemetikan, proses fisiologi tetap berjalan, tergantung pada situasi luar, seperti temperatur dan kelembaban. Proses fisiologi tetap dipertahankan tetapi lajunya harus dikurangi. Caranya dengan menekan tingkat respirasi, yaitu mengatur temperatur dan kelembaban udara di sekelilingnya dengan menempatkan produk dalam ruangan yang sistem udaranya terkendali. Selain laju respirasi, harus juga ditekan laju transpirasi yaitu proses penguapan dari buah cabai dengan cara meningkatkan kelembaban udara dan menurunkan temperatur, atau dengan menempatkan buah cabai dalam kemasan tertentu untuk mengurangi gerakan udara di sekeliling cabai.
            Cabai yang telah dipanen dapat disimpan di lapangan atau di ruang tertutup, yaitu bangunan berventilasi, ruang berpendingin atau ruang tertutup yang konsentrasi gasnya berbeda dengan atmosfer. Penyimpanan yang baik dapat memperpanjang umur dan kesegaran cabai tanpa menimbulkan perubahan fisik atau kimia. Cara yang biasa digunakan adalah menyimpan cabai segar pada suhu dingin, sekitar 4OC. Menurut Asgar (2009), pendinginan bertujuan menekan tingkat perkembangan mikroorganisme dan perubahan biokimia. Penyimpanan pada suhu rendah merupakan cara terbaik untuk mempertahankan kesegaran cabai. Suhu optimal pendingin bergantung pada varietas cabai dan tingkat kematangannya. Pendinginan dengan menggunakan refrigerator umumnya lebih mudah dibandingkan dengan cara lainnya. Namun, cara ini sulit diterapkan di tingkat petani karena biayanya mahal. Penyimpanan dengan modifikasi atmosfer atau udara terkendali dapat memperlambat respirasi dengan mengurangi kandungan O2 serta meningkatkan kandungan CO2 dan N2. Dengan cara ini, aktivitas metabolisme bahan akan berkurang sehingga memperlambat proses kerusakan dan memperpanjang masa simpan. Pantastico et al. (1975) serta Dasuki dan Muhamad (1997) menyatakan, penyimpanan dengan udara terkontrol dan dimodifikasi dapat menghambat metabolisme sehingga menunda pematangan dan pembusukan buah. Oleh karena itu, cabai yang akan disimpan hendaknya sehat, seragam kematangannya, dan dikemas dengan baik.

2.1.4. Pengemasan
            Pengemasan bertujuan untuk melindungi mutu produk cabai dari kerusakan mekanis, fisik dan fisiologi pada saat handling, pengangkutan dan bongkar muat. Kemasan yang ideal harus kuat, memiliki daya lindung yang tinggi terhadap kerusakan, mudah di-handle, aman dan ekonomis. Wadah kemasan dapat dibuat secara tradisional berupa keranjang bambu atau rotan, karung plastik polietilen dan kardus berventilasi. Para petani dan pedagang cabai untuk pasar tradisional biasanya mengemas cabai dengan karung plastik berlubang-lubang. Sementara itu, pasar swalayan menghendaki kemasan dalam kardus.
            Pengemasan bertujuan untuk melindungi mutu cabai sebelum dipasarkan. Pengemasan yang baik dapat mencegah kehilangan hasil, mempertahankan mutu dan penampilan, serta memperpanjang masa simpan bahan. Kemasan yang biasa digunakan untuk memudahkan penyimpanan dan pengangkutan cabai di pasar domestik adalah keranjang bambu, peti kayu, dan plastik. Kemasan yang ideal adalah yang mudah diangkat, aman, ekonomis, dan dapat menjamin kebersihan produk. Kemasan lain yang biasa digunakan pedagang adalah jala dengan kapasitas 9−100 kg. Kemasan ini sangat praktis, tetapi tidak dapat melindungi cabai dari kerusakan mekanis dan fisiologis, terutama pada saat ditimbang dan di dalam alat angkut. Volume kemasan sebaiknya tidak melebihi 25 kg karena kemasan yang terlalu besardapat menurunkan mutu cabai, terutama yang berada di bagian bawah (Setyowati dan Budiarti 1992). Kemasan yang baik dapat menekan benturan, mempermudah pertukaran udara, dan mengurangi penguapan. Prinsip pembuatan kemasan adalah ekonomis, bahannya tersedia, mudah dibuat, ringan, kuat, dapat melindungi komoditas, berventilasi, dan tidak bau.
2.1.5. Pengangkutan
Pada tahap ini transportasi memiliki peranan penting untuk memindahkan cabe dari lapangan ke tempat pengolahan (sertasi dan grading), kemudian ke pasar dan gudang. Selama proses pengangkutan perlu dicermati penanganannya.
Pengangkutan dengan truk konvensional seperti kendaraan bak terbuka berbeda dengan sistem non konvensional seperti kontainer dengan sistem udara terkendali. Pengangkutan dengan sistem non konvensional cabe relatif lebih aman dari kerusakan fisik, fisiologis maupun mekanis. Namun, pengangkutan dengan kontainer baru digunakan oleh perusahaan besar yang mendapat kontrak dengan pasar swalayan. Sementara itu, untuk pasar tradisional, buah cabe lebih sering diangkut dengan mobil bak terbuka.
            Pengangkutan merupakan mata rantai penting dalam penanganan pascapanen dan distribusi cabai. Untuk memperpanjang kesegaran, biasanya pedagang memerlukan alat angkut yang cocok untuk memperlancar pemasaran. Jika jumlah cabai yang dipasarkan sedikit, biasanya petani/pedagang menggunakan pikulan, sepeda atau gerobak. Selama pengangkutan, cabai dapat mengalami kerusakan mekanis karena kontak dengan wadah atau dengan cabai yang lain akibat goncangan. Kerusakan fisiologis juga bisa terjadi akibat gangguan metabolisme dalam bahan. Proses respirasi yang masih berlangsung dalam cabai yang ditumpuk menghasilkan H2O, CO2, dan energi dalam bentuk panas. Jika panas yang dihasilkan berlebihan akan mengakibatkan cabai menjadi layu, respirasi makin cepat, dan jaringan sel mati. Menurut Hartuti dan Sinaga (1993), pengangkutan cabai jarak jauh dengan menggunakan keranjang bambu, dapat menekan susut bobot hingga 0%, tingkat kerusakan 1,30%, dan kesegaran cabai cukup baik. Kemasan karton/kardus dengan kapasitas 20 kg dapat digunakan bila dipadukan dengan karung jala yang dimasukkan ke dalam kardus berventilasi. Pengemasan cabai yang kurang baik dapat menyebabkan kerusakan dan kehilangan hasil selama pengangkutan. Menurut Sutarya et al. (1995), pengangkutan cabai dalam jarak lebih dari 200 km dengan kemasan karung berkapasitas 90 kg menyebabkan kerusakan hingga 20%.
2.1.6 Pemasaran
Pemasaran produk pertanian khususnya cabai masih belum memiliki kepastian, terutama harga. Saat ini, harga produk pertanian masih dipengaruhi oleh banyaknya suplai di pasar, musim dan event-event tertentu seperti hari raya keagamaan.
Jika suplai cabai di pasar terlalu banyak, harganya akan turun. Jika suplai sedikit harganya akan meningkat dari harga rata-rata. Faktor yang paling mempengaruhi harga cabai di pasaran adalah pengaruh musim.
2.2.. Pasca Panen Pengolahan Sekunder
2.2.1 Pengolahan Cabai Kering
            Harga komoditas pertanian, termasuk cabai, umumnya akan jatuh pada saat panen raya. Untuk mengatasi masalah tersebut, cabai dapat dikeringkan lalu dibuat tepung (bubuk) sebagai bumbu siap pakai. Cabai kering berbentuk tepung sering digunakan sebagai pengganti lada. Cabai kering biasanya dipasarkan dan diolah lebih lanjut menjadi serbuk atau oleoresin cabai. Cabai kering hendaknya dibuat dari buah cabai yang betul-betul masak dan sehat (Menurut Asgar 2009). Buah yang kurang tua atau masih kehijauan (warna merah kurang dari 60%) akan menghasilkan cabai kering yang berwarna keputihan, sedangkan buah cabai yang sudah mulai membusuk akan menghasilkan cabai kering yang berwarna kehitaman. Cabai dibuang tangkainya lalu dicuci bersih dan ditiriskan, kemudian dibelah atau bisa pula dalam bentuk utuh. Bila dibelah, pengeringannya lebih cepat dibandingkan yang utuh. Pengeringan dengan menggunakan oven pada suhu 60°C lebih baik daripada dijemur. Menurut Duriat (1995), pengeringan cabai dengan menggunakan alat pengering memudahkan mengontrol suhu dan kelembapan untuk mencapai kadar air 5−8%. Cabai merah utuh membutuhkan waktu pengeringan 20−25 jam, sedangkan yang dibelah hanya memerlukan waktu 10−25 jam. Cabai merah yang telah kering digiling bersama rempah-rempah lainnya sampai menjadi bumbu siap pakai. Pengeringan cabai merah dapat pula menggunakan alat pengering energy surya. Hartuti dan Sinaga (1995) menggunakan pengering tenaga surya rakitan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balittro). Penggunaan alat pengering tersebut yang dikombinasi dengan memberi perlakuan antioksidan emulsi dipsol, Na2S2O5 dengan perendaman selama 6 menit dan pengeringan 7 hari menghasilkan cabai merah kering terbaik (Tabel 4).
 Tabel 4. Pengaruh penggunaan alat pengering terhadap mutu cabai kering.
Komponen                  Pengering tradisional Pengering Balittro                   Pengering LIPI
Kadar air (%)                          12,96                           11,80                                    12,98
Vitamin C (mg/100 g)             180,86                         197,44                                  220,33
Zat padat terlarut (%)             55,82                           55,81                                    55,14
Kadar abu (%)                         7,27                             6,87                                     6,92
Kepedasan (SU)                      354                              354                                      305,50
Warna                                      8,44                             9,62                                      9,48
Suhu (°C)                                42                                46−48                                  47−49
Kelembapan (%)                     49                                45                                            45
Sumber: Hartuti dan Sinaga (1995).
2.2.2 Pengolahan Cabai Merah Menjadi Saus
            Pengolahan cabai merah menjadi saus dimulai dengan pemilihan buah cabai merah yang sehat dan tidak rusak. Cabai dibuang tangkainya lalu dicuci sampai bersih, dikukus hingga matang, kemudian digiling bersama bumbu, seperti bawang putih yang telah dikukus 10 menit, gula pasir,garam, penyedap masakan, kecap inggris, minyak wijen, cuka, dan bahan pengawet natrium benzoat 0,025 g/kg cabai. Setelah tercampur rata, adonan dipanaskan hingga mendidih selama 5 menit. Selanjutnya didiamkan 20 menit, lalu dipanaskan kembali hingga mendidih selama 3 menit. Pemanasan saus secara bertahap dapat memperbaiki konsistensi (mencegah terjadinya pemisahan air). Dalam keadaan panas, saus dimasukkan ke dalam botol steril lalu ditutup rapat, kemudian dipasteurisasi dengan dikukus selama 30 menit.
2.2.3 Pengolahan Cabai Merah Menjadi Bumbu Nasi Goreng
            Cabai untuk bumbu nasi goreng dipilih yang berwarna merah. Cabai dikukus sampai matang, waktunya disesuaikan dengan jumlah cabai yang akan diolah. Pengukusan cabai sebelum diolah akan memperbaiki warna bumbu nasi goreng. Setelah matang, cabai digiling bersama bumbu, yaitu bawang merah, bawang putih, kecap ikan, kecap manis, minyak wijen, garam, minyak goreng, tomat yang telah dihaluskan, penyedap, dan lada. Campuran cabai dan bumbu yang telah digiling lalu ditumis dalam minyak panas (suhu 90°C) selama 3 menit. Cara pemanasan ini menghasilkan bumbu nasi goreng yang terbaik dibandingkan tanpa pemanasan. Dalam keadaan panas, bumbu dimasukkan ke dalam botol steril, lalu ditutup rapat dan dipasteurisasi dengan cara dikukus 30 menit.
2.2.4 Oleoresin Cabai Merah
            Penggunaan oleoresin cabai merah sebagai pewarna makanan makin meluas sehingga permintaannya makin meningkat. Oleoresin cabai merah mempunyai ketahanan panas yang lebih baik dibandingkan dengan pewarna lainnya. Kisaran pH untuk pemakaiannya cukup luas, yaitu 1−9. Keuntungan mengolah cabai merah menjadi oleoresin yaitu: 1) produk lebih awet karena bebas dari mikroba, serangga, dan enzim serta berkadar air rendah, 2) mutu produk seragam dan mudah distandarkan, 3) memiliki rasa yang mirip dengan rempah asli, dan 4) dapat dipadatkan (ditumpuk) sehingga menghemat biaya transportasi. Sebagai pewarna makanan, oleoresin paprika sering dicampur dengan pewarna alami lain, seperti annato dan kurkumin. Keuntungan pemakaian oleoresin dibandingkan dengan rempah-rempah bubuk lainnya adalah ekonomis, rasa kuat dan dapat dikontrol, serta tahan panas.Hasil penelitian Yuliana et al. (1991)terhadap rendemen dan mutu oleoresin dari beberapa jenis cabai menunjukkan bahwa pembelahan buah cabai sebelum pengeringan menghasilkan mutu oleoresin yang baik, tetapi menurunkan kadar minyak atsiri (Tabel 5). Sebelum diekssehingga permintaannya makin meningkat. Oleoresin cabai merah mempunyai ketahanan panas yang lebih baik dibandingkan dengan pewarna lainnya. Kisaran pH untuk pemakaiannya cukup luas, yaitu 1−9. Keuntungan mengolah cabai merah menjadi oleoresin yaitu: 1) produk lebih awet karena bebas dari mikroba, serangga, dan enzim serta berkadar air rendah, 2) mutu produk seragam dan mudah distandarkan, 3) memiliki rasa yang mirip dengan rempah asli, dan 4) dapat dipadatkan (ditumpuk) sehingga menghemat biaya transportasi. Sebagai pewarna makanan, oleoresin paprika sering dicampur dengan pewarna alami lain, seperti annato dan kurkumin. Keuntungan pemakaian oleoresin dibandingkan dengan rempah-rempah bubuk lainnya adalah ekonomis, rasa kuat dan dapat dikontrol, serta tahan panas.Hasil penelitian Yuliana et al. (1991) terhadap rendemen dan mutu oleoresin dari beberapa jenis cabai menunjukkan bahwa pembelahan buah cabai sebelum pengeringan menghasilkan mutu oleoresin yang baik, tetapi menurunkan kadar minyak atsiri (Tabel 5). Sebelum diekstraksi, cabai perlu dikeringkan sampai kadar air 10%, namun pengeringan yang terlalu lama dapat menurunkan kandungan minyak atsiri. Pengeringan juga akan memengaruhi kepedasan dan warna cabai kering. Mutu oleoresin ditentukan oleh nilai kepedasan, intensitas warna, dan aroma sehingga pengeringan cabai harus diusahakan berlangsung dalam waktu singkat pada suhu rendah.
Tabel 5. Pengaruh jenis cabai dan pembelahan terhadap oleoresin, kadar
minyak atsiri dan capsaisin.
Jenis cabai                   Rendemen oleoresin (%)         Kadar minyak             Rata-rata
.                                     Dibelah         Utuh                atsiri (%)                     capsaisin (%)
Rawit putih                    10,15           12,23                     2,58                            4,03
Merah kering                  14,63           17,37                     1,55                            1,92
Merah besar                    17,19           17,60                     1,44                            1,87
Paprika                           12,30           8,73                       2,28                            0,26
Sumber: Yuliana et al. (1991).




BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Solusi Pasca Panen
3.1.1 Panen
            Sebaiknya dalam pelaksanaan panen pada tanaman cabai, perlu memperhatikan beberapa hal seperti di bawah ini :
1. Panen dilakukan pagi hari setelah ada sinar matahari.
2. Cara pemanenan buah cabai dilakukan dengan mengikutsertakan batang buahnya dan dijaga supaya tidak merusak ranting dan percabangan tanaman cabai.
3. Buah yang dipanen adalah yang benar-benar tua, tandanya buah berwarna merah, hijau kemerahan atau hitam kemerahan.
4. Saat panen langsung dilakukan sortasi, buah yang rusak atau kena hama langsung dipisahkan.
5. Kematangan cabai disesuaikan dengan permintaan, lama penyimpanan dan lamanya transportasi ke pasar.
6. Setelah dipanen, lakukan sortir awal. Buah cabe yang terkena penyakit, terutama cendawan dikubur dalam lubang atau dibakar supaya tidak menular ke buah dan tanaman lainnya.
            Terkait dengan itu pada saat ingin melakukan pemanenan pada tanaman cabai yang terpenting adalah ketetapan waktu panen karena ketetapan saat panen sangat menentukan kualitas produk tanaman cabai, dan apabila produksi tanaman cabai yang dipanen tidak tepat waktu maka kualitas dan kuantitas cabai menurun. Pemanenan terlalu muda/awal pada tanaman cabai akan menurunkan kuantitas hasil dan menyebabkan proses pematangan tidak sempurna. Dan pemanenan terlalu tua/lewat panen maka kualitas menurun dengan cepat saat disimpan, rentan terhadap pembusukkan, dan menyebabkan kandungan serat kasarnya meningkat, tidak renyah lagi.
            Cara pemanenan tanaman cabai dapat dilakukan secara manual maupun secara mekanisasi, cara panen yang dipilih ditentukan oleh ketersediaan tenaga kerja dan luasan areal pertanaman. Yang perlu diperhatikan saat panen sedapat mungkin menghindarkan komoditas tanaman cabai dari kerusakan fisik ( seperti memar, luka dan lecet). Adanya kerusakan fisik pada komoditas tanaman cabai dapat memacu pembusukan dan memacu transpirasi dan respirasi (cepat layu dan menurun kualitasnya), menginduksi serangan hama dan penyakit pasca panen.
3.1.2. Sortasi
            Pada tahap ini sebaiknya buah cabai yang telah dipanen segera disortasi untuk mencegah kerusakan. Penundaan sortasi akan mempercepat pembusukan. Sebaiknya sortasi pada tanaman cabai hendaknya membagi dalam 3 kelompok atau tiga tipe berdasarkan kualitasnya. Pada tipe pertama buah cabai digolongkan dengan kriteria buah masak sepenuhnya, tidak berpenyakit dan tidak mengalami kerusakan pada saat pemanenan. Dan untuk buah cabai yang berpenyakit seperti bercak hitam pada buah cabai dan buah cabai yang mengalami pertumbuhan yang tidak normal serta buah cabai yang mengalami kerusakan fisik (seperti memar, luka dan lecet) sebaiknya dipisahkan. Untuk buah cabai yang mengalami kerusakan fisik (seperti memar, luka dan lecet) dikelompokkan pada tipe ke 2 dan untuk buah cabai yang berpenyakit seperti bercak hitam pada buah cabai dan buah cabai yang mengalami pertumbuhan yang tidak normal dikelompokkan pada tipe ke 3.
3.1.3. Penyimpanan
            Kemudian pada tahap selanjutnya buah cabai yang sudah disortasi tadi kemudian diproses pada tahap penyimpanan. Untuk penyimpanan buah cabai tersebut dipisahkan agar tidak terjadi kontaminasi antara buah cabai yang utuh, tidak berpenyakit, masak normal dan buah cabai yang mengalami kerusakan serta buah cabai yang berpenyakit.  Hai ini maksudkan agar cabai tetap kelihatan segar,  mutu tetap stabil dan bisa diterima konsumen dengan harga yang tinggi. Sebaiknya penyimpanan buah cabai di simpang di ruang tertutup, yaitu bangunan berventilasi, ruang berpendingin atau ruang tertutup yang konsentrasi gasnya berbeda dengan atmosfer. Penyimpanan yang baik dapat memperpanjang umur dan kesegaran cabai tanpa menimbulkan perubahan fisik atau kimia. pendinginan bertujuan menekan tingkat perkembangan mikroorganisme dan perubahan biokimia. Penyimpanan pada suhu rendah merupakan cara terbaik untuk mempertahankan kesegaran cabai. Suhu optimal pendingin bergantung pada varietas cabai dan tingkat kematangannya. Pendinginan dengan menggunakan refrigerator umumnya lebih mudah dibandingkan dengan cara lainnya. Dengan cara ini, aktivitas metabolisme bahan akan berkurang sehingga memperlambat proses kerusakan dan memperpanjang masa simpan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pantastico et al. (1975) serta Dasuki dan Muhamad (1997) yang menyatakan bahwa, penyimpanan dengan udara terkontrol dan dimodifikasi dapat menghambat metabolisme sehingga menunda pematangan dan pembusukan buah. Oleh karena itu, cabai yang akan disimpan hendaknya sehat, seragam kematangannya, dan dikemas dengan baik.
3.1.4. Pengemasan
            Pada tahap ini buah cabai dikemas untuk melindungi mutu produk cabai dari kerusakan mekanis, fisik dan fisiologi pada saat handling, pengangkutan dan bongkar muat. Kemasan yang ideal harus kuat, memiliki daya lindung yang tinggi terhadap kerusakan, mudah di-handle, aman dan ekonomis. Wadah kemasan dapat dibuat secara tradisional berupa keranjang bambu atau rotan, karung plastik polietilen dan kardus berventilasi. Sebaiknya kemasan yang digunakan pada tahap ini yang bersifat ideal adalah yang mudah diangkat, aman, ekonomis, dan dapat menjamin kebersihan produk. Kemasan yang baik dapat menekan benturan, mempermudah pertukaran udara, dan mengurangi penguapan. Prinsip pembuatan kemasan adalah ekonomis, bahannya tersedia, mudah dibuat, ringan, kuat, dapat melindungi komoditas, berventilasi, dan tidak bau.
3.1.5. Pengangkutan
            Pada tahap ini setelah buah cabai dikemas maka langkah selanjutnya adalah pengangkutan dengan menggunakan truk konvensional seperti kendaraan bak terbuka berbeda dengan sistem non konvensional seperti kontainer dengan sistem udara terkendali. Pengangkutan dengan sistem non konvensional cabai relatif lebih aman dari kerusakan fisik, fisiologis maupun mekanis. Namun, pengangkutan dengan kontainer baru digunakan oleh perusahaan besar yang mendapat kontrak dengan pasar swalayan. Sementara itu, untuk pasar tradisional, buah cabai lebih sering diangkut dengan mobil bak terbuka. Untuk memperpanjang kesegaran, biasanya petani/pedagang memerlukan alat angkut yang cocok untuk memperlancar pemasaran. Jika jumlah cabai yang dipasarkan sedikit, biasanya petani/pedagang menggunakan pikulan, sepeda atau gerobak. Selama pengangkutan, cabai dapat mengalami kerusakan mekanis karena kontak dengan wadah atau dengan cabai yang lain akibat goncangan. Kerusakan fisiologis juga bisa terjadi akibat gangguan metabolisme dalam bahan. Yang terpenting selama proses pengangkutan perlu dicermati penanganannya.
3.1.6. Pemasaran
            Pemasaran pada cabai merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terjadi dalam proses mengalirkan barang (baik berupa cabai segar maupun dalam bentuk yang sudah diolah) dari sentra produksi ke sentra komsumsi guna memenuhi kebutuhan dan memberikan kepuasan bagi konsumen serta memberikan keuntungan bagi petani dan pedagang. Oleh karena itu dengan adanya pemasaran pada cabai maka akan meningkatkan nilai guna bentuk, nilai guna waktu, nilai guna tempat dan nilai guna hak milik pada tanaman cabai. Pada tahap ini sebaiknya pemasaran dilakukan dengan strategi pemasaran yang efektif agar proses pemasaran dapat berjalan secara terkontrol, dinamis, dan kreatif. Namun sebelum melakukan pemasaran hendaknya petani atau pedagang memastikan kualitas produk cabai yang akan dijual kemudian langkah pertama kenalilah pelanggan maksudnya disini petani atau pedagang mengidentifikasi target pemasaran cabai (orang yang dituju yang menjadi sasaran pemasaran) kemudian langkah selangjutnya melakukan promosi (baik berupa cabai segar maupun dalam bentuk yang sudah diolah) haal ini dimaksudkan untuk memperkenalkan produk cabai kepada konsumen. Sebaiknya promosi yang dilakukan tetap konsisten, terus-menerus, dan dengan cara-cara kreatif sehingga para pelanggan tidak merasa bosan. Misalnya, setiap kali bepergian, bawalah brosur, pamflet, atau leaflet berisi produk cabai untuk dibagikan kepada rekan-rekan, atau Anda dapat menyebarkan brosur tersebut di tempat umum serta Buatlah status di jejaring social tentang produk cabai. Kemudian langkah ketiga memili lokasi yang strategis dalam hal ini berkaitan dengan tempat pemasaran sebaiknya tempat pemasaran cabai tersedia dekat dengan tempat konsumen supaya produk cabai dapat diperoleh sepanjang waktu dan dapat dikonsumsi dalam bentuk segar. Kemudian langkah keempat menjalin hubungan dengan pelanggan hal ini dimaksudkan agar pelanggan tidak berpindah tempat, ketika pelanggan membutuhkan prodak cabai maka konsumen tadi akan menjadi pelanggan tetap dalam pemasaran cabai.



BAB IV
KESIMPULAN
4.1.  Kesimpulan
       Berdasarkan penjelasan pada tinjauan pustaka dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
a)        Pasca panen pada tanaman cabai merupakan kelanjutan dari proses panen agar bahan hasil panen tanaman cabai tidak mudah rusak dan memiliki kualitas yang baik serta mudah disimpan untuk diproses selanjutnya.
b)        Penanganan pascapanen primer, yaitu perlakuan mulai panen, sortasi, penyimpanan, pengemasan, pengangkutan, sampai komoditas dapat dikonsumsi segar atau siap diolah.
c)        Penangana pascapanen sekunder, yaitu tindakan yang mengubah hasil tanaman cabai (dalam hal ini cabai) menjadi bentuk lain agar lebih awet.
d)       Cabai dapat dipanen pada umur 60−75 hari setelah tanam untuk yang ditanam di dataran rendah dan pada umur 3−4 bulan untuk yang di dataran tinggi. Cabai dipanen setelah buahnya 75% berwarna merah.
e)        Sortasi pada tanaman cabai yaitu dengan memisahkan buah cabai yang tidak berpenyakit dengan buah cabai yang berpenyakit.
f)         Penyimppanan produk cabai yang telah dipanen dapat disimpan di lapangan atau di ruang tertutup, yaitu bangunan berventilasi, ruang berpendingin atau ruang tertutup yang konsentrasi gasnya berbeda dengan atmosfer.
g)        Pengemasan pada buah cabai bertujuan untuk melindungi mutu produk cabai dari kerusakan mekanis, fisik dan fisiologi pada saat handling, pengangkutan dan bongkar muat.
h)        Pengangkutan dengan sistem non konvensional cabai relatif lebih aman dari kerusakan fisik, fisiologis maupun mekanis.
i)          Hasil panen buah cabai dapat diolah menjadi saus cabai, bumbu nasi goreng, pewarna makanan dll.


DAFTAR PUSTAKA
Asgar, A. 2000. Teknologi peningkatan kualitas sayuran. Makalah disampaikan pada Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi, BPTP Jawa Barat, Lembang, 1 Juli 2000.
Asgar, A. 2009. Penanganan pascapanen beberapa jenis sayuran. Makalah Linkages ACIAR-SADI. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. 15 hlm.
Dasuki, I.M. dan H. Muhamad. 1997. Pengaruh cara pengemasan dan waktu simpan terhadap mutu buah salak Enrekang segar. Jurnal Hortikultura 7(1): 566−573.
Duriat, A.S. 1995. Hasil penelitian cabai merah TA 1993/1994. hlm. 201−305 Dalam Prosiding Seminar dan Evaluasi Hasil Penelitian Hortikultura. Pusat Penelitian Hortikultura, Jakarta.
Hartuti, N. dan R.M. Sinaga. 1993. Pengaruh jenis dan kapasitas kemasan terhadap mutu cabai dalam pengangkutan. Buletin Penelitian Hortikultura 3(2): 124−132.
Moekasan, T.K., L. Prabaningrum, dan M.L. Ratnawati. 2005. Penerapan PHT pada sistem tanam tumpang gilir bawang merah dan cabai. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. 43 hlm.
Mutiarawati, T. 2009. Penanganan pascapanen hasil pertanian. Makalah disampaikan pada Workshop Pemandu Lapangan I (PL-1) Sekolah Lapangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (SL-PPHP). Departemen Pertanian, Jakarta. http://pustaka.unpad.a c . i d / w p - c o n t e n t / u p l o a d s / 2 0 0 9/ penanganan_pasca_panen_hasil_pertanian_pdf. [24 Februari 2010].
Pantastico, Er.B., E.K. Akamine, and H. Subramayan. 1975. Physiological disorder other than chilling injury. p. 380−388. In Postharvest Physiology, Handling and Utilization of Tropical Fruit and Vegetables. The Avi Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.
Rajab, A. dan M. Taufik. 2008. Introduksi beberapa jenis sayuran di lahan kering iklim kering. Laporan Hasil Penelitian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Makassar.
Setyowati, R.N. dan A. Budiarti. 1992. Pascapanen Sayur. Penebar Swadaya, Jakarta. 221 hlm.
Sumarni, N. 2009. Budi daya sayuran: Cabai, terung, buncis, dan kacang panjang. Makalah Linkages ACIAR-SADI. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang. 18 hlm.
Soetiarso, T.A. dan R. Majawisastra. 1992. Preferensi konsumen rumah tangga terhadap kualitas cabai merah. Buletin Penelitian Hortikultura 27(1): 12−23
Sutarya, R., G. Grubben, dan H. Sutarno. 1995. Pedoman Bertanam Sayuran Dataran Rendah. Gadjah Mada Univ. Press bekerja sama dengan Prosea dan Balai Penelitian Hortikultura Lembang.
Yuliana, N., T. Hanum, dan Karyono. 1991. Pengaruh pembelahan buah cabai terhadap rendemen dan mutu oleoresin. Jurnal Hortikultura 1(4): 35−39.




Tentang Saya :
TTL : Makassar, 01 oktober 1995